Kamis 30 Jun 2022 16:19 WIB

Penyaluran Subsidi BBM Tepat Sasaran Bisa Tekan Beban Negara

Kenaikan harga minyak global berdampak terhadap biaya pokok penjualan Pertamina.

Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) Pertalite di SPBU Pertamina Retail, Yogyakarta, Rabu (28/6/2022). Mulai 1 Juli mendatang kawasan Yogyakarta menjadi salah satu lokasi uji coba penjualan BBM subsidi Pertalite dan Solar melalui aplikasi Mypertamina. Namun, pembelian BBM melalui sistem aplikasi MyPertamina tidak diperuntukan untuk kendaraan roda dua atau motor. Uji coba ini hanya menyasar kendaraan roda empat atau lebih.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) Pertalite di SPBU Pertamina Retail, Yogyakarta, Rabu (28/6/2022). Mulai 1 Juli mendatang kawasan Yogyakarta menjadi salah satu lokasi uji coba penjualan BBM subsidi Pertalite dan Solar melalui aplikasi Mypertamina. Namun, pembelian BBM melalui sistem aplikasi MyPertamina tidak diperuntukan untuk kendaraan roda dua atau motor. Uji coba ini hanya menyasar kendaraan roda empat atau lebih.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tingginya harga komoditas termasuk minyak mentah membuat harga BBM maupun LPG di pasaran terkerek naik. Dengan masih banyaknya impor BBM maupun LPG, keuangan negara hampir dipastikan terbebani karena pemerintah menambah kuota BBM subsidi dan penugasan. 

Solusi efektif menekan beban keuangan negara adalah penyaluran subsidi BBM tepat sasaran. Salah satu cara mengendalikan penyaluran BBM subsidi dan penugasan yakni Solar dan Pertalite dengan memanfaatkan teknologi melalui aplikasi MyPertamina. 

Baca Juga

Hal ini dilakukan karena pemerintah dan Pertamina masih konsisten mempertahankan harga BBM jenis Solar dan  Pertalite serta LPG 3 Kg tidak naik di tengah harga minyak mentah global yang terus bertahan di atas 110 dolar AS per barel. Padahal sejumlah badan usaha domestik, termasuk juga di luar negeri, menaikkan harga BBM, jauh di atas harga BBM subsidi dan BBM nonsubsidi yang dijual Pertamina.  

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan subsidi seharusnya diberikan kepada orang yang membutuhkan bukan kepada produk (barang) sehingga lebih tepat sasaran. Ini membutuhkan proses panjang terkait database yang mumpuni sehingga subsidi juga lebih efisiens.”Itu bicara dalam konteks normal. Saat ini situasi tidak normal,” kata Yustinus dalam keterangan pers tertulis, Kamis (30/6/2022).

Menurutnya, hingga akhir 2021 tidak pernah diramalkan perang akan terjadi antara Rusia dan Ukraina. Selain itu, tidak akan ada lonjakan harga tajam terkait komoditas termasuk minyak bumi dan dinamika kebijakan moneter di Amerika Serikat. 

“Ini jadi background kenapa pemerintah dan DPR tetap mempertahankan subsidi dan kompensasi dalam rangka keselamatan rakyat itu hukum tertinggi. Terlepas diskusi dan lain-lain kita fokus ke perlindungan masyarakat itulah sebabnya APBN diupayakan jadi shock absorber,” ujarnya.

Tahun ini alokasi subsidi dengan asumsi harga ICP 100 dolar AS per barel sebesar Rp 74,9 tiliun dan kompensasi Rp 324,5 triliun. Sementara yang akan dibayarkan tahun ini alokasi anggaran yang disiapkan Rp275 triliun bergantung pada perkembangan harga global. Jika harga ICP di atas 100 dolar AS per barel atau dibawah, lanjut Yustinus,  subsidi dan kompensasi akan disesuaikan. 

“Dalam jangka pendek, prinsipnya pemerintah mau dukung,” katanya.

Senada diungkapkan Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman yang memproyeksikan kuota Solar dan Pertalite tahun ini akan habis pada September atau Oktober 2022 jika tidak ada tindakan.

Berdasarkan data BPH Migas, hingga 20 Juni 2022 realisasi penyaluran Solar mencapai 51,24 persen dari kuota tahun ini 15,1 juta Kiloliter (KL). Sedangkan realisasi penyaluran Pertalite mencapai 57,56 persen dari kuota sebelumnya yakni 23,05 juta KL.

Saleh berharap sistem yang dibangun oleh Pertamina melalui MyPertamina bisa menjadi jalan keluar untuk bisa mengatur penyaluran subsidi. BPH Migas akan mengawal sistem MyPertamina. 

“Bila seseorang sudah mengisi hari ini misalnya 60 liter itu, itu dia tidak bisa pergi ke SPBU lain sehingga konsumen betul-betul terkontrol. Kami juga terbitkan surat rekomendasi JBT (Jenis Bahan Bakar Tertentu) solar agar ada pengawasan kuat,” ujar dia. 

Direktur Pemasaran Regional PT Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo Putra menuturkan Pertamina sebagai badan usaha penugasan mempunyai tanggung jawan secara korporasi untuk jalankan tugas dengan baik. BBM produk subsidi ini harga diatur dan volume diatur. 

Ega menuturkan, subsidi sebenarnya sudah mengalami beberapa kali transformasi dari sebelumnya selling out dihitung sejak BBM keluar dari terminal Pertamina kini dihitung sampai BBM diterima ke masyarakat. “Ternyata seiring perkembangan waktu, itu tidak cukup. Kita diminta kepada siapa itu disalurkan. Ketika tuntutannya kepada siapa, di situ kita kembangkan digitalisasi terhubung langsung ke end user, disitu kami kembangkan MyPertamina,” jelasnya.

Menurut Ega, tanggal 1 Juli 2022 adalah tahap registrasi bagi masyarakat kalangan bawah yang akan menggunakan Pertalite dan Solar, bukan merupakan pembatasan. Data akan dikoordinasikan untuk tahap awal belum ada verifikasi. Pertamina masih mencocokkan unggahan STNK,  pelat nomor kendaraan, foto kendaraan, dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang diunggah warga. 

“Nanti akan dicocokan benar nggak kendaraan ini dan lain-lain. Belum validasi data itu valid atau belum kami baru gathering data kalau cocok, approve nanti masyarakat dapat QR Code melalui email,” jelas Ega.

Menurut pengamat BUMN Toto Pranoto, subsidi yang besar membuat tidak hanya berdampak bagi negara tapi juga Pertamina. Kenaikan harga minyak global berdampak signifikan terhadap  biaya pokok  penjualan (cost of sales and operating expenses) Pertamina sehingga mengalami kenaikan signifikan mencapai 41 persen.

“Dari sudut pandang Pertamina, piutang PSO perusahaan juga relatif besar, yaitu Rp5,87 trilliun sepanjang 2021 sehingga inisiatif pengurangan subsidi dapat mengurangi piutang PSO,” ujar Toto. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement