Ahad 30 Aug 2020 22:50 WIB

Pelaku Usaha Nilai Target Produksi Batu Bara Terlalu Optimis

Pemerintah naikkan target produksi batu bara 2021 jadi 609 juta ton

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Produksi batu bara, ilustrasi. Pemerintah berencana untuk menaikan target produksi batu bara pada tahun depan menjadi 609 juta ton. Pelaku usaha menilai target yang dipasang oleh pemerintah terlalu optimis.
Produksi batu bara, ilustrasi. Pemerintah berencana untuk menaikan target produksi batu bara pada tahun depan menjadi 609 juta ton. Pelaku usaha menilai target yang dipasang oleh pemerintah terlalu optimis.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana untuk menaikan target produksi batu bara pada tahun depan menjadi 609 juta ton. Pelaku usaha menilai target yang dipasang oleh pemerintah terlalu optimis.

Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia menilai target produksi tahun depan dibuat pemerintah dengan asumsi pemulihan pandemi covid sudah selesai. Padahal, melihat kondisi saat ini dari sisi produksi dan serapan saja masih jauh dibawah target.

"Terlalu optimistis dan terlalu dini untuk memprediksi bahwa permintaan akan naik pada tahun depan," ujar Hendra pada Republika.co.id, Ahad (30/8).

APBI memprediksi, serapan batu bara domestik pada tahun ini akan berkisar di level 120 juta - 125 juta ton, atau di bawah target yang ditetapkan 155 juta ton di tahun 2020. "Dengan asumsi peningkatan 12-15 persen maka perkiraan demand domestik kemungkinan masih di bawah 155 juta di 2021," tambah Hendra.

Sehingga, dia memperkirakan dalam beberapa tahun ke depan, pasar ekspor tetap menjadi tumpuan. Dengan tingkat produksi yang diprediksi bakal terus menanjak, akan sulit jika target ekspor dipatok tetap 441 juta ton dari 2021-2024.

"Target tersebut (produksi) mungkin bisa tercapai, tapi alokasinya pemerintah mungkin bisa lebih fleksibel mengingat konsumsi dalam negeri diperkirakan terkoreksi pasca covid-19," ungkap Hendra.

Menurutnya, target ekspor perlu dilihat kembali berdasarkan perkembangan pasar dan pemulihan ekonomi. Kendati begitu, Hendra tetap mengingatkan bahwa tingkat produksi yang terus meningkat bisa terus menekan harga batu bara.

"Target ekspor pun perlu dilihat perkembangan market, yang meski ekonomi global mulai pulih. Tapi dengan tingkat produksi seperti itu berpotensi menekan harga komoditas," ujarnya.

Ketua IMEF Singgih Widagdo bahkan menilai mestinya disaat pasar yang sedang tidak pasti seperti saat ini ditambah harga yang masih anjlok pemerintah perlu mengendalikan produksi agar harga tak semakin terpuruk.

"Perlu ada arah bagaimana pengendalian produksi terus dilakukan agar tidak terjadi oversupply," ujar Singgih.

Singgih memperkirakan, China dan India sebagai pasar utama ekspor batubara Indonesia akan mengerem impor batubaranya dalam lima tahun ke depan. Alasannya, kedua negara tersebut berpotensi untuk memaksimalkan penggunaan batubara dari dalam negerinya.

Pasar ekspor potensial datang dari Vietnam, Malaysia dan Filipina. Namun, kenaikan demand dari ketiga negara tersebut diprediksi tidak akan lebih tinggi dari naiknya jumlah produksi yang ingin dicapai oleh para pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP).

Memang, serapan batubara dari demand dalam negeri ditaksir bakal terus tumbuh, seiring dengan pemulihan ekonomi, kebutuhan listrik dan potensi demand dari industri semen dan smelter. Namun, pertumbuhan demand dalam negeri diprediksi masih belum signifikan.

"Mengingat besarnya IUP, justru penataan produksi atas jumlah PKP2B dan IUP OP yang jauh di atas kenaikan pertumbuhan demand, perlu menjadi perhatian Kementerian ESDM," sebut Singgih.

Tanpa adanya pengendalaian produksi, sambung Singgih, perusahaan akan berjuang secara korporasi dalam mempertahankan performa finansialnya di tengah kondisi pasar yang oversupply dan harga batubara yang rendah. "Melakukan konsolidasi atas kontrol produksi atau membiarkan perusahaan berjuang hidup, menjadi pilihan ESDM," imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement